May 17, 2010

Komering Tentang Stigmanya

DUA turis asing bertanya kepada sopir mobil sewaan, apakah ia seorang penakut. "Tentu tidak," kata si sopir dengan nada tinggi seraya membuka laci mobilnya. Sopir itu menunjukkan sebilah pisau besar yang ia bawa sebagai alat pertahanan diri. Akan tetapi, sopir itu bersikeras menolak ketika diminta untuk mengantarkan kedua turis itu melewati daerah hunian warga Komering.
MENURUT sopir tadi, banyak kejadian yang sering menimpa kendaraan yang lewat di daerah yang dihuni masyarakat Komering. "Tiba-tiba ban kempes, lalu muncul beberapa orang yang merampok penumpang,
Kisah tersebut tertayang di sebuah situs perjalanan berbahasa Inggris di internet. Tidak diceritakan, apakah akhirnya kedua wisatawan tadi nekat melanjutkan perjalanan melewati wilayah Komering atau mereka menuruti saran sopir untuk mengambil jalan lain.
Satu hal yang jelas, cerita itu merefleksikan kuatnya stigmatisasi terhadap masyarakat Komering sebagai masyarakat yang identik dengan kekerasan dan tindak kriminal. Stereotip itu bahkan sudah "mendunia", seperti yang terlihat dalam tulisan internet berbahasa Inggris di atas.
SUKU Komering adalah salah satu suku yang ada di Sumatera Selatan. Mereka tinggal di daerah aliran Sungai Komering dan hidup dengan bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian utama.
Jumlah populasi orang Komering saat ini diperkirakan sekitar 140.000 jiwa. Mereka terutama bermukim di beberapa kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu/OKU (sebelum dimekarkan) dan Ogan Komering Ilir (OKI). Kecamatan Buay Madang, Buay Pemuka Peliung, Belitang, Cempaka, Simpang, Martapura, dan Tanjung Lubuk adalah daerah asli suku tersebut.
Masyarakat Komering banyak yang merasa keberatan dengan anggapan negatif terhadap mereka. Menurut mereka, ibarat sebuah institusi, kejelekan atau kejahatan tersebut dilakukan oleh oknum yang membawa nama Suku Komering.
"Kejahatan muncul lebih karena alasan ekonomis, bukan karena adat kebiasaan. Toh, buktinya banyak figur orang Komering terdidik yang bisa sukses, termasuk Gubernur Sumatera Selatan (Syahrial Oesman- Red) sekarang,
Dalam kesehariannya, masyarakat Komering adalah masyarakat yang taat menjalankan ajaran agama Islam. "Dalam masyarakat Komering, adat sangat dipegang. Orang tua sangat dihormati dan sifat gotong royong pun masih kental.
Akan tetapi, stigmatisasi kekerasan memang kerap menjadi ganjalan bagi warga Komering yang merantau. "Kami mengaku berasal dari Palembang saja. Masyarakat sudah menilai kami sebagai orang yang keras, apalagi jika ketahuan berasal dari Komering. Kesannya, kami ini jahat.
Salah satu kebiasaan yang masih melekat hingga saat ini adalah terbiasa mengantongi pisau lipat ke mana pun pergi.
Bagaimana asal-usulnya citra kekerasan itu bisa melekat pada suku Komering? "Orang Komering itu rasa kesukuannya sangat kuat dan akan makin tampak jika berhadapan dengan kelompok lain,
Sebenarnya, karakter yang keras juga dimiliki oleh mayoritas suku asli Sumatera Selatan lainnya. Akan tetapi, sikap keakuan yang kuat dalam kelompok-kelompok masyarakat Komering menumbuhkan pandangan "kelompok kami" (in group) dan "kelompok luar" (out group) yang kuat.
Para anggota in group kerap bersikap antipati atau antagonis terhadap anggota out group yang menjadi lawannya. Perasaan ini dapat menjadi dasar terbentuknya suatu sikap yang disebut etnosentrisme. Soekanto (1990) menjabarkan bahwa anggota kelompok sosial tertentu cenderung menganggap kebiasaan yang dimiliki kelompoknya adalah sesuatu yang wajar.
Akibat dari sikap etnosentris ini, masyarakat dalam kelompok itu sukar untuk mengubah kebiasaan mereka meskipun mereka menyadari sikapnya salah. "Dalam masyarakat Komering, sifat-sifat itu berkembang menjadi stereotip sebagai masyarakat yang keras, egois, dan tidak mau mengalah.
Pada masyarakat Komering, sifat pengelompokan tersebut juga dipengaruhi sistem pemerintahan desa pada masa pemerintahan Belanda dan Kesultanan Palembang yang disebut dengan "marga". Marga terbentuk dari kesatuan dusun-dusun.
Masyarakat penghuni dusun tersebut disatukan oleh ikatan keturunan yang kuat antarmereka dan rasa kepemilikan atas wilayah yang mereka diami. "Karena tidak semua wilayah marga itu subur, muncul kecemburuan terhadap warga dari marga lain meskipun sesama suku Komering.
Sejarah perkembangan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya, kerap diwarnai oleh kekerasan. Termasuk yang dilakukan oleh masyarakat Komering yang terbagi dalam marga-marga.
"Ditambah ada kecenderungan untuk cari gampangnya saja sehingga mendorong kejahatan oleh kelompok.
Namun, tingkat kesejahteraan lebih dominan untuk memicu terjadinya kriminalitas. "Marga yang wilayahnya gersang biasanya penghuninya lebih temperamental dan cenderung lebih berani melakukan kejahatan.
Tekanan ekonomi memang bisa menjadi pemicu seorang individu melakukan tindakan ilegal. Jika ditelusuri, sejumlah daerah Komering yang tergolong rawan adalah daerah yang kalah makmur dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Daerah tersebut bahkan menjadi daerah yang ditakuti oleh masyarakat Komering sendiri.
Sebutlah ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Martapura dengan Kecamatan Cempaka atau ruas jalan dari Kecamatan Simpang menuju Lampung yang melewati daerah Kota Baru. Warga sekitar pun memilih untuk tidak melintasi jalan tersebut sendirian pada siang hari, terlebih lagi pada malam hari.
"Justru siang bolong itu sering kejadian orang digerandong (dirampok), pengemudinya dianiaya, lalu motornya dirampas.
Warga Belitang yang tergolong makmur karena memiliki sawah irigasi sehingga mampu panen tiga kali dalam setahun termasuk yang kerap menjadi sasaran empuk. Jangan heran jika petani di Desa Kurungan Nyawa, Belitang, yang cukup mampu pun memilih tidak memperlihatkan kesejahteraannya secara mencolok.
Dari segi ekonomi, stigma kerawanan daerah Komering tentu sangatlah merugikan, apalagi jika menimbang potensi pertanian, perkebunan, dan jasa angkutan. Sebagai ilustrasi, meskipun ruas jalan yang menghubungkan Palembang- Kayu Agung-Martapura lebih mulus dan jaraknya lebih pendek daripada ruas Palembang- Baturaja-Martapura, namun angkutan barang dan penumpang memilih untuk menghindari jalur tersebut. Lagi-lagi karena faktor keamanan.
"Stigma kekerasan akan terus menempel dan justru akan mematikan daerah itu. Masyarakat akan cenderung menganggap orang yang lewat sebagai musuh.
Jika tingkat kesejahteraan dan pendidikan diperbaiki, tentu akan ada perubahan sikap di masyarakat. Tanpa itu, masyarakat Komering akan terus dihantui oleh stigma,"

Presented By KOMERING
Copy Right 2007 (DOTY DAMAYANTI)

May 13, 2010

Istiadat Dalam komering

MELEWATI wilayah Komering, pengguna jalan memang harus hati-hati, terutama pada pekan-pekan setelah hari raya Lebaran. Bukan karena ancaman pemerasan atau perampokan, tetapi karena pekan-pekan tersebut banyak dilaksanakan acara pesta pernikahan.
SALAH satu rangkaian ritualnya, yaitu mengarak calon pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan, selalu mengakibatkan kemacetan.
Bayangkan jika sepanjang ruas jalan Kayu Agung, ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Martapura, ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, ada lima keluarga saja yang mengadakan acara perkawinan.
Barisan keluarga mempelai laki-laki dengan membawa berbagai macam hantaran berjalan kaki menuju rumah calon besannya. Tak ketinggalan para pemusik kelintang yang memainkan musik di sepanjang perjalanan, menjadikan prosesi arak-arakan tersebut sebagai tontonan yang menarik.
Upacara perkawinan tersebut adalah bagian dari adat yang masih dipegang oleh masyarakat Komering. "Dalam kesehariannya, masyarakat Komering masih memegang baik adat maupun ajaran agama Islam.
Perkembangan zaman, telah mengikis sejumlah adat kebiasaan masyarakat Komering. Namun, sejumlah kebiasaan belum sepenuhnya hilang, termasuk hal yang sangat sederhana, yaitu kebiasaan memelihara rambut panjang.
Masyarakat Komering yang patrilineal sangat membatasi gerak kerabat perempuan mereka. Di dalam keluarga, laki-laki bertugas menjaga martabat saudara perempuan dan keluarganya. Posisi laki-laki tersebut banyak disimbolkan dalam acara-acara adat.
Dalam rangkaian upacara perkawinan Komering dikenal ritual kandang ralang, yaitu pasangan pengantin diarak dalam kain putih yang panjangnya sampai 60 meter yang bagian tepinya dipegangi oleh sejumlah pemuda.
"Ritual tersebut menyimbolkan bahwa pengantin laki-laki akan menjamin keamanan dan kehormatan keluarga mertuanya.Kehormatan dan harga diri merupakan hal penting bagi seorang Komering. Akan tetapi, mereka sangat pantang mengakui kesalahan di depan orang banyak.
ASAL-usul masyarakat Komering memang tidak begitu jelas. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia yang diterbitkan LP3ES menyebutkan, seperti kebanyakan kelompok masyarakat di Sumatera Selatan, sistem kemasyarakatan Komering dipengaruhi adat Simbur Cahaya.
Simbur Cahaya adalah kumpulan hukum adat setempat yang diterapkan oleh Kesultanan Palembang. Hukum adat itu selain mengatur penguasaan kesultanan terhadap berbagai sumber daya, juga mengatur beragam aspek sosial, mulai dari perkara pegangan tangan antara laki-laki dan perempuan, kegiatan ekonomi, masalah keamanan lingkungan, hingga politik dalam organisasi pemerintahan marga.
Undang-undang (UU) tersebut juga mengatur wilayah kekuasaan sultan di tingkat marga. Pemimpin marga disebut pasirah. Bawahannya adalah para kepala dusun yang disebut kerio. Selain struktur pemerintahan marga, ada tingkatan-tingkatan keluarga raja adat yang masih keturunan Kesultanan Palembang.
Simbur Cahaya berlaku sebagai UU dengan menerapkan sanksi yang tegas. "Saat hukum adat masih dipegang, laki-laki yang mengganggu perempuan bisa dikenai denda atau sanksi,
hukum adat berperan besar dalam menjaga ketertiban masyarakat Komering. "Tindak kriminalitas memang sudah ada sejak dulu, tetapi kontrol sosial melalui penerapan hukum adat pada masa lalu cukup kuat untuk mengurangi efeknya.
Kuatnya pengaruh hukum adat, tidak lepas dari peranan pemimpin marga. Para pasirah adalah tokoh yang benar-benar disegani karena kekuasaan mereka cukup besar. Mereka memegang fungsi yudikatif, eksekutif, dan kepolisian.
"Dulu, kejahatan-kejahatan kecil biasanya diselesaikan di tingkat marga. Para pihak-pihak yang terkait didamaikan, lalu diadakan sedekah.
Peran hukum adat sebagai pranata sosial masyarakat mulai pupus menyusul dihapuskannya sistem marga oleh Pemerintah RI pada tahun 1983. "Sistem pemerintahan desa tidak punya ikatan yang kuat dengan masyarakat. Sejak itu berbagai masalah sosial pun makin sulit dikontrol.
Meskipun sistem marga sudah tidak berlaku, secara fisik sejumlah peninggalannya masih ada. Di tengah Kota Martapura, kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten OKU Timur, tegak berdiri bangunan bergaya kolonial yang masih terawat baik. Pada masa Kesultanan Palembang maupun pemerintahan Hindia Belanda, gedung tersebut didiami oleh asisten demang, kepala pemerintahan yang membawahi sejumlah marga.
Pada Zaman dahulu, karena pergaulan antarmuda-mudi sangat dibatasi, orang-orang tua menyelenggarakan pesta adat untuk memberi kesempatan pada kaum muda bertemu,dengan mengenakan kain sarung dan baju kurung, para muda-mudi duduk berhadap-hadapan, bercakap-cakap dengan diawasi orang-orang tua dari kejauhan. "Kalau ada yang ingin berkenalan, biasanya menulis pesan dalam secarik kertas, lalu disampaikan oleh anak-anak kecil yang mendapat imbalan gula-gula,
Kebiasaan menitip surat untuk berkenalan itu hingga saat ini masih lestari di pelosok-pelosok kampung yang didiami masyarakat asli Komering. Meski saat ini pergaulan muda-mudinya sudah jauh lebih longgar dibandingkan dulu, saat adat masih dipegang ketat.
Menimbang suasana kehidupan pada masa marga yang lebih tertib, ada keinginan untuk kembali menghidupkan lembaga tersebut. "Dengan kembali ke sistem pemerintahan marga, maka adat akan kembali hidup.
MESKIPUN stigma sebagai masyarakat yang keras identik dengan masyarakat Komering, mereka cukup terbuka terhadap kehadiran orang luar.

presented by KOMERING
Copyright (2007) DOTY DAMAYANTI
Add to Google Reader or Homepage Add to The Free Dictionary Subscribe in Bloglines Add to My AOL

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls