Aug 14, 2009

Alkisah II

Diriwayatkan di dalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Kedatangan Keempat Umpu sebagai awal kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak yang berasaskan Islam. Keempat Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi masing masing adalah: Umpu Bejalan Di Way , Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong. Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Sekala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan Paksi Pak yang berarti Empat Sepakat. Mereka menaklukkan suku bangsa Tumi dan mengembangkan agama Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu adalah seorang wanita yang bernama Ratu Sekerumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh Paksi Pak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari Buay Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir Selatan Krui -Tanjung Cina.
Dataran Sekala Brak akhirnya dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai Si Bulan, Maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan menggunakan nama Paksi Pak Sekala Brak. Inilah cikal bakal Kepaksian Sekala Brak. Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima punggawa ini nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.
Sekitar tahun 1550 suku bangsa Ranau ditaklukkan kesultanan Banten, yang membutuhkan sekitar danau Ranau untuk penanaman merica sebagai komoditi ekspor.
Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Wai Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh seorang Saibatin di daerah Komering-Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri aliran Wai Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Bengkulah di Komring Ilir. Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu Piekulun Siba menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung. Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Wai Semangka hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Wai Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh. Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Wai Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Sedangkan Tulang Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri Si Buay Bulan yang pada awalnya bertahta di Cenggiring Sekala Brak.
Hirarki Adat dalam Kepaksian Sekala Brak dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah dikenal dengan sebutan; Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kemas, dan Mas. Petutughan atau panggilan untuk kakak adalah Pun dan Ghatu untuk Suntan, Atin untuk Raja, Udo Dang dan Cik Wo untuk Batin, Udo dan Wo untuk Radin, Udo Ngah dan Cik Ngah untuk Minak, Abang dan Ngah untuk Mas serta kakak untuk Kemas. Sedangkan panggilan untuk orang tua adalah Akan dan Ina Dalom untuk Suntan, Aki dan Ina Batin untuk Raja, Ayah dan Ina Batin untuk Batin sedangkan untuk Radin, Mas dan Kimas menggunakan panggilan Mak dan Bak. Panggilan kepada setingkat panggilan orang tua seperti paman dan bibi adalah; Pak Dalom dan Ina Dalom untuk Suntan, Pak Batin dan Ina Batin untuk Raja, Tuan Tongah- dan Cik Tongah untuk Batin, Pak Balak dan Ina Balak untuk Radin, Pak Ngah dan Mak Ngah untuk Minak, Pak Lunik dan Ina Lunik untuk Mas serta Pak Cik dan Mak Cik untuk Kemas. Panggilan untuk kakek-nenek adalah Tamong Dalom dan Kajong Dalom untuk setingkat Suntan, Tamong Batin dan Kajong Batin untuk setingkat Raja dan Batin sedangkan untuk Radin, Minak, Mas dan Kemas menggunakan panggilan Tamong dan Kajong saja. Panggilan ini kemudian berkembang secara berbeda di setiap marga. Gelaran atau Adok -DALOM, SUNTAN, RAJA, RATU, panggilan seperti PUN dan SAIBATIN serta nama LAMBAN GEDUNG hanya diperuntukkan bagi Saibatin dan keluarganya dan dilarang dipakai oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli Pangkat Adat, baik dengan Cakak Pepadun atau dengan cara cara lainnya terutama di dataran Skala Brak sebagai warisan kerajaan Paksi Pak Sekala Brak. Tentang kepangkatan seseorang dalam adat tidaklah dapat dinilai dari materi dan kekuatan yang dapat menaikkan kedudukan seseorang di dalam lingkungan adat, melainkan ditentukan oleh asal, akhlak dan banyaknya pengikut seseorang dalam lingkungan adat. Bilamana ketiganya terpenuhi maka kedudukan seseorang di dalam adat tidak perlu dibeli dengan harta benda atau diminta dan akan dianugerahkan dengan sendirinya. Kesempatan untuk menaikkan kedudukan seseorang di dalam adat dapat pula dilaksanakan pada acara Nayuh atau Pernikahan, Khitanan dan lain lain. Pengumuman untuk Kenaikan Pangkat ini, dilaksanakan dengan upacara yang lazim menurut adat di antara khalayak dengan penuh khidmat diiringi alunan bunyi Canang disertai bahasa Perwatin yang halus dan memiliki arti yang dalam. Bahasa Perwatin adalah ragam bahasa yang teratur, tersusun yang berkaitan dengan indah dan senantiasa memiliki makna yang anggun, ragam bahasa ini lazim digunakan dilingkungan adat dan terhadap orang yang dituakan atau dihormati. Sedangkan bahasa Merwatin adalah ragam bahasa pasaran yang biasa digunakan sehari hari yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh bahasa bahasa lain. Prosesi kenaikan seseorang di dalam adat dihadiri oleh Saibatin Suntan atau Perwakilan yang ditunjuk beserta para Saibatin dan Pembesar lainnya. Dari rangkaian kata kata dalam bentuk syair dapat disimak ungkapan “Canang Sai Pungguk Ghayu Ya Mibogh Di Dunia Sapa Ngeliak Ya Nigham Sapa Nengis Ya Hila” Terjemahannya bebasnya bermakna “Bunyi Gong Laksana Suara Pungguk Yang Syahdu Merayu, Gemanya Terdengar Keseluruh Dunia, Siapa Yang Melihat Ia Terkesima Dan Rindu, Siapa Yang Mendengarnya Ia Akan Terharu”. Ini bermakna bahwa pengumuman kenaikan kedudukan seseorang di dalam adat telah diresmikan. Pada zaman imperialis hal ini dimanfaatkan oleh kaum imperialis dengan memecah belah sehingga perbedaan yang ada digunakan sebagai alat memperuncing pertentangan. Belanda menggantikan kedudukan Raja dengan kedudukan sebagai Pesirah. Bentuk pemerintahan yang tadinya dijalankan dalam tatanan kemurnian dan keluhuran Adat perlahan diarahkan untuk mengikuti kepentingan Belanda.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, marga Semendawai (OKU) dan marga Bengkulah (OKI).
Suku Komering menganut Islam sebagai agama. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tan Dipulau, yang menjadi tamu di daerah marga Semendawai. Ia datang menggunakan perahu menelusuri sungai Komering. Tan Dipulau berlabuh dan menetap di daerah marga Semendawai, tepatnya di dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut dusun Gunung Jati. Selanjutnya, marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari dusun Kuripan. Sedangkan untuk di marga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Muyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.
Sementara itu W.V. Van Royen dalam bukunya DePalembang Sche Marga (1927 ) menyebut orang komring dengan sebutan Jelama Daya yang berarti orang yang ulet. Van Der Tuc (Belanda)menyebut orang Kembiring yang di artinya manusia jejadian (orang yang dapat menghilang)
Sebagian warahan menyebutkan nama sungai Komering diambil dari nama seorang saudagar India yang bernama Komring Singh , makamnya terdapat di hulu desa Muara Dua, sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari pertemuan Wai Selabung dengan Wai Saka yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring.
Diyakini, Jelama Daya adalah kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu adalah kelompok Samanda Di Wai (Semendawai) yang berarti mengikuti aliran sungai . Kelompok ini kemudian berkembang dan berpencar membentuk 7 ( Tujuh ) Kepuhyangan ( kepuyangan) ; Kepuhyangan menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini kita kenal dengan nama Gunung Batu, kelompok ini di pimpin oleh Pu Hyang Ratu Sabibul . Kepuhyangan menempati dataran Maluwai di pimpin oleh Pu Hyang Kai Patih Kandil. Kepuhyangan menempati muara sungai yang kemudian dikenal dengan nama Minanga , kelompok ini di pimpin oleh Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Kepuhyangan Madang menenpati wilayah Gunung Terang, kelompok ini di pimpin oleh Puhyang Umpu Sipadang. Kepuhyangan yang dipimpin Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung yang kemudian di jadikan nama kepuhyangan Pemuka Peliung. Dari kepuhyangan ini menunculkan kepuhyangan Kepuhyangan Banton di pimpin oleh Pu Hyang Ratu Penghulu dan Kepuhyangan Pulau Negara yang di pimpin oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Jati Kramat yang dipercayai oleh penduduk setempat istrinya keluar dari Bunga Mayang Pinang sehingga memunculkan nama kepuhyangan Bunga Mayang. Kepuhyangan Sibalakuang menempati daerah Mahangin yang memunculkan daerah Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap dan banyak lagi yang mengunakan nama Bhu Way.


A'im Gantesa

Aug 13, 2009

Alkisah



Zaman bahula suku Proto Malayan, orangnya ngak gaul, gak mau berhubungan dengan dunia luar. Mereka hanya berpesta di pegunungan. Kemungkinan besar mereka ngak pernah piknik ke pantai Kuta, Ancol, palagi ke Palembang Square. Hehe.. Ini beda sekali dengan suku-suku Neo Malayan. Suku-suku Neo Malayan lebih suka tinggal di tanah datar. persis seperti Cut Tari, Luna Maya, Ifan Bachdim, dan yang lain konco-konconya.
Kesenangan si suku Proto Malayan terusik, karena sekitar 1000 taon SM, suku Mongol datang merangsek dan terpaksalah mereka mabur ke selatan, sepanjang sungai-sungai Irawady, Salween, serta Mekong. Udah itu,, mereka juga didesak bangsa Syan dari Palae Mongoloid. Akibatnya mereka terdesak sampai ke tepi laut di teluk Martaban (kacian nenek moyang ku).
Nah.. sekarang mereka udah bisa piknik ke pantai (ye) Mereka berhubungan dengan orang asing, kebudayaan Proto Malayan jadinya kecampur dengan budaya Hindu (bahasa kerennya terakulturasi), Ini juga mempengaruhi bahasanya.
Tapi emang dasar orang gunung, si proto Malayan kurang senang bertempat tinggal di tepi pantai. Terlalu banyak orang asing yang harus dijamu (bisa- abis kopi). Apalagi pantatnya sering digigit kepiting laut. Dia ngak tahan nanggung derita ini. Bahkan sampai ada yang coba bunuh diri dengan cara menusuk-nusukan capit kepiting ke ketek kirinya (sebab konon mereka percaya bahwa letak jantung ada di ketek kiri, hehe…). Lalu mereka memberanikan diri mengambil resiko, menyeberangi lautan mencari tempat tertutup. Suku-suku Proto Malayan pun akhirnya terpisah-pisah. Ada yang melancong dan menetap di Filipina. Di situ mereka membentuk komunitas baru dan buka bisnis togel (hehe.. gaklah). Ada juga yang ke Taiwan. Suku bangsa Tayal pergi ke puncak-puncak gunung di Taiwan sejak 3.000 tahun lalu sampai sekarang (Jangan-jangan mereka itu leluhur F4 yang serial meteor garden. ya) Mereka tidak ambil pusing bahwa tanah-tanah datar di tepi pantai Taiwan, silih berganti direbut Cina, Belanda, Jepang dan Cina lagi. (Lo mau perang kek, mau ngapain kek. gw kagak peduli! terserah lo ajalah…)” teriak mereka dari gunung sambil menyaksikan tanah datar di tepi pantai diperebutkan. Suku bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Di situ mereka selama 3.000 tahun hingga sekarang kontra dengan suku-suku bangsa Bugis dan Makasar, yang berasal dari Neo Malayan. Mereka berantem melulu (untung waktu itu lum ada kapal selem dan bom buku). Agama Islam sekitar 400 tahun sudah diterima Bugis dan Makasar. Tetapi suku Toraja gak mau. Tapi pas abad XX suku bangsa Toraja mau menerima Protestan Calvinist dari pendeta-pendeta Belanda. Sementara suku Karen tetap bertahan di pegunungan Burma. Sampai sekarang juga berantem terus dengan suku bangsa Burma yang membentuk Republik Burma. Suku bangsa Karen tetap menolak agama Budha, yang dianut orang-orang Burma dan Siam. suku bangsa Karen sejak abad ke-XIX menerima agama Kristen/British Baptists dari pendeta-pendeta Inggris. Sedangkan suku bangsa Batak, tenang -tenang… ternyata mendarat di pantai Barat pulau Sumatera. Di situ suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa gelombang (bukan tsunami lho). Gelombang pertama mendarat di pulau-pulau Simular, Nias, Batu, Mentawai, Siberut sampai ke Enggano. Gelombang lain mendarat di muara sungai Simpang, sekarang Singkil. Mereka bergerak sepanjang sungai Simpang Kiri dan menetap di Kutacane. Dari situ mereka menduduki seluruh pedalaman Aceh. Itulah yang menjadi orang-orang Gayo, dan Alas. Adalagi yang mendarat di muara Sungai Sorkam, antara Barus dan Siboga. Masuk utan Doloksanggul dan menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit, di tepi danau Toba sebelah barat, sekarang di seberang Pangururan.
Suku bangsa Sekala Brak (Sekala Baca: Sekala Bekhak) muyangku mendarat di pesisir Sumatera Barat terus jalan kaki ke Anjak Lambung" yang berarti berasal dari ketinggian (Diandra Natakembahang: 2005) atau Lampung, lalu selama 2.500san taon berkurung di sekitar danau Ranau. Mereka mendirikan kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, awalnya mereka menempati kaki Gunung Pesagi yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau (sekarang masuk administrative Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah mereka menyebar ke segala penjuru dengan mengikuti aliran wai komering, wai kanan, wai semangka, wai seputih, wai sekampung dan wai tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Bukti tentang kemasyuran muyangku didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan. Warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau.
Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich menyimpulkan bahwa Sekala Brak merupakan cikal bakal rumpun Lampung. Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779, mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where originally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated…". Apabila tuan-tuan menanyakan kepada masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk ke arah gunung yang tinggi dan sebuah danau yang luas. Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groeneveltkedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Prof. Wang Gungwu dalam majalah ilmiahJournal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari negeri Kendali mengirimkan utusannya ke Negeri Cina. Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali Ibukota Kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama.
Hal diatas membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.
Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi. Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26-45, diketahui nama Raja yang mengeluarkan prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Baginda Sri Haridewa.
Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal Sriwijaya, dimana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran palembang (Van Royen:1927). Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering (Arlan Ismail:2003).
Berdasarkan Warahan disusun di dalam Tambo, dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.


Bersambung.......
Add to Google Reader or Homepage Add to The Free Dictionary Subscribe in Bloglines Add to My AOL

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls