Sep 27, 2009

Asal usul II

Suku Komering adalah satu klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7 dan telah menjadi beberapa Kebuayan atau Marga. Nama Komering diambil dari nama Way atau Sungai di dataran Sumatera Selatan yang menandai daerah kekuasaan Komering.
Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering: “Adat lembaga sai ti pakai sa buasal jak Belasa Kapampang, sajaman rik Tanoh Pagaruyung pemerintah Bunda Kandung, cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, sangon kok turun-temurun jak ninik puyang paija, cambai urai ti usung dilom adat pusako”. Terjemahannya berarti “Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), sezaman dengan Ranah Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung di Minang Kabau, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Brak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa”.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya Marga Paku Sengkunyit, Marga Sosoh Buay Rayap, Marga Buay Pemuka Peliyung, Marga Buay Madang, Marga Semendawai (OKU) dan Marga Bengkulah (OKI). Di Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan.
Sejak abad pertengahan, Suku Komering, sama halnya dengan rumpun Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tan Dipulau, yang menjadi tamu di daerah Marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering.
Tan Dipulau berlabuh dan menetap di daerah Marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, Marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari Dusun Kuripan. Sedangkan untuk di Marga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.
Tandipulau dalam Bahasa Komering berarti ‘Tuan di Pulau’. Makamnya, yang terletak di Dusun Kuripan, hingga kini masih terpelihara. Masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, sering berziarah kubur ke makam tersebut. Mitos lain yang beredar dan merupakan sebuah kesalahan besar yang menyatakan bahwa asal-usul Suku Komering masih ada hubungannya dengan Suku Batak di Sumatera Utara, dimana dikatakan bahwa Suku Komering dengan Suku Batak Sumatera Utara dikisahkan masih bersaudara, kakak-beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang Suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi nenek moyang Suku Batak. Apa yang mendasari pendapat para penulis tersebut, apakah hanya sebatas
dari sumber cerita rakyat yang tidak mempunyai bukti kongkrit dan kejelasan akan fakta tersebut. Bahkan cerita rakyat yang menyatakan mitos tersebut tidak diketahui secara menyeluruh oleh semua masyarakat Komering, dan hanya berkembang di daerah Ogan komering Ulu, itupun tidak menyebar secara luas.
Karena jika dilihat dari segi Adat Istiadat, mulai dari rumah dan pakaian adat, makanan tradisional, hukum, tatacara adat serta kebiasaan masyarakat, sama sekali tidak ditemukan kemiripan yang identik yang dapat mendifinisikan bahwa adanya hubungan asal-usul antara Suku Komering dengan Suku batak di Sumatera Utara. Kemudian jika dilihat dari segi etnis atau ras, mulai dari bentuk wajah dan warna kulit, juga tidak ditemukan kemiripan yang identik, karena biasanya orang yang berasal dari Suku Batak memiliki rahang bawah yang lebih tegas dan cenderung membentuk segi dengan tulang alis dan tulang pipi yang sedikit lebih menonjol, berbeda dengan orang yang berasal dari Suku Komering yang memiliki ciri-ciri fisik yang lebih mirip dengan ras Melayu pada umumnya.
Apa yang melatar belakangi pendapat tersebut? lagi-lagi pertanyaan ini sering terngiang pada pikiran kami, bahkan mungkin pada anda semua sebagai pembaca. Dilihat dari segi Bahasa, apakah hanya dikarenakan adanya beberapa kosa kata dari masyarakat Suku Komering ada kemiripannya dengan Suku Batak di Sumatera Utara, jika itu yang mendasari pendapat tersebut, seberapa banyak kemiripan kosa kata yang ada? Kalau hanya terdapat 10 atau 15 kosa kata itu bukan merupakan bukti kuat yang dapat membenarkan pendapat tersebut.
Jika kita cermati dengan lebih rinci kemiripan kosa kata Bahasa Komering juga terdapat pada beberapa kosa kata bahasa sunda, diantaranya: jukut (Sunda) dengan jukuk (Komering) yang berarti rumput, mulang (Sunda dan kKomering) yang berarti pulang, sireum (Sunda) dengan sorom (Komering) yang berarti semut, gancang (Sunda dan Komering) yang berarti cepat, na sebuah imbuhan yang digunakan bahasa sunda yang sama fungsinya dengan imbuhan nya dalam bahasa Indonesia juga digunakan di dalam Bahasa Komering, jelma (Sunda) dengan jelma (Komering) yang berarti manusia.
Tidak hanya dengan Suku Sunda, Bahasa Komering juga memiliki kesamaan kosa kata dengan Bahasa Melayu, baik itu Melayu Palembang maupun Melayu Piawai (Riau, Langkat, Serdang, Siak), Bahasa Aceh bahkan dengan Suku Jawa, diantara kesamaan kosa kata tersebut adalah: kawai (Melayu Piawai dan komering) yang berarti baju, sayu (Melayu Piawai dan Komering) yang berarti sedih atau pikiran jauh, biduk (Melayu Piawai dan Komering) yang berarti perahu, pinggan/pingan (Melayu Piawai dan Komering) yang berarti piring. Kemiripan dengan bahasa Aceh diantaranya, Apui (Aceh dan Komering) yang berarti api, Kulat/Kulak (Aceh dan Komering) yang berarti jamur, Tanoh (Aceh dan Komering) yang berarti tanah, Asu (Jawa dan Komering) yang berarti anjing, Rawang/Lawang (Jawa dan Komering) yang berarti pintu, Sapa (Jawa) dengan Sopo (Komering) yang serarti siapa.
Demikian beberapa fakta yang ada, dan sebenarnya mungkin masih terdapat banyak lagi kemiripan kosa kata lainnya, yang tentunya tidak dapat kita sajikan semuanya dalam artikel ini. Dengan beberapa kemiripan kosa kata yang ada antara bahasa komering dengan beberapa Suku di Indonesia tersebut, apakah asal-usul Suku Komering bisa dikatakan ada hubungannya dengan dengan beberapa suku tersebut? sampai saat ini tidak ada yang dapat menyatakan hal tersebut tersebut dengan tegas, karena memang semua itu memerlukan bukti yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan.
Seperti yang kita ketahui bersama, di dalam Suku Komering itu sendiri terdapat paling tidak dua ragam intonasi suara dalam berbahasa (Dialek/Logat), Dialek Suku Komering Marga Bengkulah akan terdengar cenderung berintonasi lebih datar, halus serta tidak mendayu jika dibandingkan dengan Bahasa Komering Ulu (mendiami bagian hulu Sungai Komering) yang intonasinya akan cenderung lebih tegas, tinggi dan mendayu.
Kemudian jika masalah intonasi suara (Dialek/Logat) antara Bahasa Komering pada umumnya (Komering OKU) dibandingkan dengan Bahasa Batak yang memiliki kemiripan, yaitu sama-sama berintonasi dialek/logat yang tinggi dan tegas (keras/lantang) menjadi latar belakang pendapat yang mengatakan bahwa asal usul Suku Komering masih ada hubungan yang erat dengan Suku Batak di Sumatera Utara. Lalu bagaimana dengan kemiripan intonasi antara Bahasa Komering dengan Bahasa Bugis Sulawesi dan suku-suku di Indonesia timur diantaranya Flores, Maluku serta Timor, Dengan fakta tersebut apakah suku Komering bisa dikatakan ada hubungan asal usul yang sangat erat dengan suku-suku tersebut?
Tentu saja, tidak dengan semudah itu kita dapat berargumentasi dan mengeluarkan pendapat, apalagi pendapat itu sangat terkait dengan sejarah dan asal-usul suatu suku bangsa, jangan bermain-main dengan sebuah argumentasi yang nantinya akan merusak paradigma berfikir bagi para penerus generasi sebuah suku bangsa. Dalam hal ini tentunya kami tidak bermaksud untuk menyudutkan suatu pendapat atau argumentasi seseorang, namun setidaknya hal ini kami jadikan sebagai momen untuk mencoba meluruskan sebuah pendapat yang selama ini mulai beredar di masyarakat khususnya masyarakat Komering Ulu.

Aug 14, 2009

Alkisah II

Diriwayatkan di dalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Kedatangan Keempat Umpu sebagai awal kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak yang berasaskan Islam. Keempat Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi masing masing adalah: Umpu Bejalan Di Way , Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong. Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Sekala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan Paksi Pak yang berarti Empat Sepakat. Mereka menaklukkan suku bangsa Tumi dan mengembangkan agama Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu adalah seorang wanita yang bernama Ratu Sekerumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh Paksi Pak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari Buay Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir Selatan Krui -Tanjung Cina.
Dataran Sekala Brak akhirnya dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai Si Bulan, Maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan menggunakan nama Paksi Pak Sekala Brak. Inilah cikal bakal Kepaksian Sekala Brak. Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima punggawa ini nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.
Sekitar tahun 1550 suku bangsa Ranau ditaklukkan kesultanan Banten, yang membutuhkan sekitar danau Ranau untuk penanaman merica sebagai komoditi ekspor.
Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Wai Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh seorang Saibatin di daerah Komering-Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri aliran Wai Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Bengkulah di Komring Ilir. Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu Piekulun Siba menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung. Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Wai Semangka hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Wai Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh. Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Wai Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Sedangkan Tulang Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri Si Buay Bulan yang pada awalnya bertahta di Cenggiring Sekala Brak.
Hirarki Adat dalam Kepaksian Sekala Brak dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah dikenal dengan sebutan; Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kemas, dan Mas. Petutughan atau panggilan untuk kakak adalah Pun dan Ghatu untuk Suntan, Atin untuk Raja, Udo Dang dan Cik Wo untuk Batin, Udo dan Wo untuk Radin, Udo Ngah dan Cik Ngah untuk Minak, Abang dan Ngah untuk Mas serta kakak untuk Kemas. Sedangkan panggilan untuk orang tua adalah Akan dan Ina Dalom untuk Suntan, Aki dan Ina Batin untuk Raja, Ayah dan Ina Batin untuk Batin sedangkan untuk Radin, Mas dan Kimas menggunakan panggilan Mak dan Bak. Panggilan kepada setingkat panggilan orang tua seperti paman dan bibi adalah; Pak Dalom dan Ina Dalom untuk Suntan, Pak Batin dan Ina Batin untuk Raja, Tuan Tongah- dan Cik Tongah untuk Batin, Pak Balak dan Ina Balak untuk Radin, Pak Ngah dan Mak Ngah untuk Minak, Pak Lunik dan Ina Lunik untuk Mas serta Pak Cik dan Mak Cik untuk Kemas. Panggilan untuk kakek-nenek adalah Tamong Dalom dan Kajong Dalom untuk setingkat Suntan, Tamong Batin dan Kajong Batin untuk setingkat Raja dan Batin sedangkan untuk Radin, Minak, Mas dan Kemas menggunakan panggilan Tamong dan Kajong saja. Panggilan ini kemudian berkembang secara berbeda di setiap marga. Gelaran atau Adok -DALOM, SUNTAN, RAJA, RATU, panggilan seperti PUN dan SAIBATIN serta nama LAMBAN GEDUNG hanya diperuntukkan bagi Saibatin dan keluarganya dan dilarang dipakai oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli Pangkat Adat, baik dengan Cakak Pepadun atau dengan cara cara lainnya terutama di dataran Skala Brak sebagai warisan kerajaan Paksi Pak Sekala Brak. Tentang kepangkatan seseorang dalam adat tidaklah dapat dinilai dari materi dan kekuatan yang dapat menaikkan kedudukan seseorang di dalam lingkungan adat, melainkan ditentukan oleh asal, akhlak dan banyaknya pengikut seseorang dalam lingkungan adat. Bilamana ketiganya terpenuhi maka kedudukan seseorang di dalam adat tidak perlu dibeli dengan harta benda atau diminta dan akan dianugerahkan dengan sendirinya. Kesempatan untuk menaikkan kedudukan seseorang di dalam adat dapat pula dilaksanakan pada acara Nayuh atau Pernikahan, Khitanan dan lain lain. Pengumuman untuk Kenaikan Pangkat ini, dilaksanakan dengan upacara yang lazim menurut adat di antara khalayak dengan penuh khidmat diiringi alunan bunyi Canang disertai bahasa Perwatin yang halus dan memiliki arti yang dalam. Bahasa Perwatin adalah ragam bahasa yang teratur, tersusun yang berkaitan dengan indah dan senantiasa memiliki makna yang anggun, ragam bahasa ini lazim digunakan dilingkungan adat dan terhadap orang yang dituakan atau dihormati. Sedangkan bahasa Merwatin adalah ragam bahasa pasaran yang biasa digunakan sehari hari yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh bahasa bahasa lain. Prosesi kenaikan seseorang di dalam adat dihadiri oleh Saibatin Suntan atau Perwakilan yang ditunjuk beserta para Saibatin dan Pembesar lainnya. Dari rangkaian kata kata dalam bentuk syair dapat disimak ungkapan “Canang Sai Pungguk Ghayu Ya Mibogh Di Dunia Sapa Ngeliak Ya Nigham Sapa Nengis Ya Hila” Terjemahannya bebasnya bermakna “Bunyi Gong Laksana Suara Pungguk Yang Syahdu Merayu, Gemanya Terdengar Keseluruh Dunia, Siapa Yang Melihat Ia Terkesima Dan Rindu, Siapa Yang Mendengarnya Ia Akan Terharu”. Ini bermakna bahwa pengumuman kenaikan kedudukan seseorang di dalam adat telah diresmikan. Pada zaman imperialis hal ini dimanfaatkan oleh kaum imperialis dengan memecah belah sehingga perbedaan yang ada digunakan sebagai alat memperuncing pertentangan. Belanda menggantikan kedudukan Raja dengan kedudukan sebagai Pesirah. Bentuk pemerintahan yang tadinya dijalankan dalam tatanan kemurnian dan keluhuran Adat perlahan diarahkan untuk mengikuti kepentingan Belanda.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, marga Semendawai (OKU) dan marga Bengkulah (OKI).
Suku Komering menganut Islam sebagai agama. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tan Dipulau, yang menjadi tamu di daerah marga Semendawai. Ia datang menggunakan perahu menelusuri sungai Komering. Tan Dipulau berlabuh dan menetap di daerah marga Semendawai, tepatnya di dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut dusun Gunung Jati. Selanjutnya, marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari dusun Kuripan. Sedangkan untuk di marga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Muyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.
Sementara itu W.V. Van Royen dalam bukunya DePalembang Sche Marga (1927 ) menyebut orang komring dengan sebutan Jelama Daya yang berarti orang yang ulet. Van Der Tuc (Belanda)menyebut orang Kembiring yang di artinya manusia jejadian (orang yang dapat menghilang)
Sebagian warahan menyebutkan nama sungai Komering diambil dari nama seorang saudagar India yang bernama Komring Singh , makamnya terdapat di hulu desa Muara Dua, sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari pertemuan Wai Selabung dengan Wai Saka yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring.
Diyakini, Jelama Daya adalah kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu adalah kelompok Samanda Di Wai (Semendawai) yang berarti mengikuti aliran sungai . Kelompok ini kemudian berkembang dan berpencar membentuk 7 ( Tujuh ) Kepuhyangan ( kepuyangan) ; Kepuhyangan menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini kita kenal dengan nama Gunung Batu, kelompok ini di pimpin oleh Pu Hyang Ratu Sabibul . Kepuhyangan menempati dataran Maluwai di pimpin oleh Pu Hyang Kai Patih Kandil. Kepuhyangan menempati muara sungai yang kemudian dikenal dengan nama Minanga , kelompok ini di pimpin oleh Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Kepuhyangan Madang menenpati wilayah Gunung Terang, kelompok ini di pimpin oleh Puhyang Umpu Sipadang. Kepuhyangan yang dipimpin Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung yang kemudian di jadikan nama kepuhyangan Pemuka Peliung. Dari kepuhyangan ini menunculkan kepuhyangan Kepuhyangan Banton di pimpin oleh Pu Hyang Ratu Penghulu dan Kepuhyangan Pulau Negara yang di pimpin oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Jati Kramat yang dipercayai oleh penduduk setempat istrinya keluar dari Bunga Mayang Pinang sehingga memunculkan nama kepuhyangan Bunga Mayang. Kepuhyangan Sibalakuang menempati daerah Mahangin yang memunculkan daerah Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap dan banyak lagi yang mengunakan nama Bhu Way.


A'im Gantesa

Aug 13, 2009

Alkisah



Zaman bahula suku Proto Malayan, orangnya ngak gaul, gak mau berhubungan dengan dunia luar. Mereka hanya berpesta di pegunungan. Kemungkinan besar mereka ngak pernah piknik ke pantai Kuta, Ancol, palagi ke Palembang Square. Hehe.. Ini beda sekali dengan suku-suku Neo Malayan. Suku-suku Neo Malayan lebih suka tinggal di tanah datar. persis seperti Cut Tari, Luna Maya, Ifan Bachdim, dan yang lain konco-konconya.
Kesenangan si suku Proto Malayan terusik, karena sekitar 1000 taon SM, suku Mongol datang merangsek dan terpaksalah mereka mabur ke selatan, sepanjang sungai-sungai Irawady, Salween, serta Mekong. Udah itu,, mereka juga didesak bangsa Syan dari Palae Mongoloid. Akibatnya mereka terdesak sampai ke tepi laut di teluk Martaban (kacian nenek moyang ku).
Nah.. sekarang mereka udah bisa piknik ke pantai (ye) Mereka berhubungan dengan orang asing, kebudayaan Proto Malayan jadinya kecampur dengan budaya Hindu (bahasa kerennya terakulturasi), Ini juga mempengaruhi bahasanya.
Tapi emang dasar orang gunung, si proto Malayan kurang senang bertempat tinggal di tepi pantai. Terlalu banyak orang asing yang harus dijamu (bisa- abis kopi). Apalagi pantatnya sering digigit kepiting laut. Dia ngak tahan nanggung derita ini. Bahkan sampai ada yang coba bunuh diri dengan cara menusuk-nusukan capit kepiting ke ketek kirinya (sebab konon mereka percaya bahwa letak jantung ada di ketek kiri, hehe…). Lalu mereka memberanikan diri mengambil resiko, menyeberangi lautan mencari tempat tertutup. Suku-suku Proto Malayan pun akhirnya terpisah-pisah. Ada yang melancong dan menetap di Filipina. Di situ mereka membentuk komunitas baru dan buka bisnis togel (hehe.. gaklah). Ada juga yang ke Taiwan. Suku bangsa Tayal pergi ke puncak-puncak gunung di Taiwan sejak 3.000 tahun lalu sampai sekarang (Jangan-jangan mereka itu leluhur F4 yang serial meteor garden. ya) Mereka tidak ambil pusing bahwa tanah-tanah datar di tepi pantai Taiwan, silih berganti direbut Cina, Belanda, Jepang dan Cina lagi. (Lo mau perang kek, mau ngapain kek. gw kagak peduli! terserah lo ajalah…)” teriak mereka dari gunung sambil menyaksikan tanah datar di tepi pantai diperebutkan. Suku bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Di situ mereka selama 3.000 tahun hingga sekarang kontra dengan suku-suku bangsa Bugis dan Makasar, yang berasal dari Neo Malayan. Mereka berantem melulu (untung waktu itu lum ada kapal selem dan bom buku). Agama Islam sekitar 400 tahun sudah diterima Bugis dan Makasar. Tetapi suku Toraja gak mau. Tapi pas abad XX suku bangsa Toraja mau menerima Protestan Calvinist dari pendeta-pendeta Belanda. Sementara suku Karen tetap bertahan di pegunungan Burma. Sampai sekarang juga berantem terus dengan suku bangsa Burma yang membentuk Republik Burma. Suku bangsa Karen tetap menolak agama Budha, yang dianut orang-orang Burma dan Siam. suku bangsa Karen sejak abad ke-XIX menerima agama Kristen/British Baptists dari pendeta-pendeta Inggris. Sedangkan suku bangsa Batak, tenang -tenang… ternyata mendarat di pantai Barat pulau Sumatera. Di situ suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa gelombang (bukan tsunami lho). Gelombang pertama mendarat di pulau-pulau Simular, Nias, Batu, Mentawai, Siberut sampai ke Enggano. Gelombang lain mendarat di muara sungai Simpang, sekarang Singkil. Mereka bergerak sepanjang sungai Simpang Kiri dan menetap di Kutacane. Dari situ mereka menduduki seluruh pedalaman Aceh. Itulah yang menjadi orang-orang Gayo, dan Alas. Adalagi yang mendarat di muara Sungai Sorkam, antara Barus dan Siboga. Masuk utan Doloksanggul dan menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit, di tepi danau Toba sebelah barat, sekarang di seberang Pangururan.
Suku bangsa Sekala Brak (Sekala Baca: Sekala Bekhak) muyangku mendarat di pesisir Sumatera Barat terus jalan kaki ke Anjak Lambung" yang berarti berasal dari ketinggian (Diandra Natakembahang: 2005) atau Lampung, lalu selama 2.500san taon berkurung di sekitar danau Ranau. Mereka mendirikan kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, awalnya mereka menempati kaki Gunung Pesagi yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau (sekarang masuk administrative Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah mereka menyebar ke segala penjuru dengan mengikuti aliran wai komering, wai kanan, wai semangka, wai seputih, wai sekampung dan wai tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Bukti tentang kemasyuran muyangku didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan. Warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau.
Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich menyimpulkan bahwa Sekala Brak merupakan cikal bakal rumpun Lampung. Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779, mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where originally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated…". Apabila tuan-tuan menanyakan kepada masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk ke arah gunung yang tinggi dan sebuah danau yang luas. Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groeneveltkedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Prof. Wang Gungwu dalam majalah ilmiahJournal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari negeri Kendali mengirimkan utusannya ke Negeri Cina. Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali Ibukota Kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama.
Hal diatas membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.
Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi. Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26-45, diketahui nama Raja yang mengeluarkan prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Baginda Sri Haridewa.
Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal Sriwijaya, dimana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran palembang (Van Royen:1927). Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering (Arlan Ismail:2003).
Berdasarkan Warahan disusun di dalam Tambo, dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.


Bersambung.......

Jul 23, 2009

Asal-Usul Tujuh Kepuhyangan

Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri atau mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.
Pada artikel yang berjudul Kebesaran Sriwijaya yang Tak Tersisa - The Rise of Sriwijaya Empire (Komentar Agung Arlan), disebutkan bahwa Kepuhyangan Samandaway yang merupakan kepuhyangan tertua komering menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Sriwijaya dengan Pu Hyang Jaya Naga (Sri Jaya Naga) sebagai Raja Sriwijaya pertama yang berkedudukan di daerah dekat Gunung Seminung dan kemudian berpindah ke Minanga (Setelah itu Pusat Ibu Kota berpindah ke Palembang, dan yang terakhir ke Jambi pada beberapa kurun masa Kerajaan Sriwijaya).
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mereka menncari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Skala Brak ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang dan kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Skala Brak baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).

thank's to - A'im Gantesa

Jul 9, 2009

Asal Usul

Sementara itu W.V. Van Royen menulis dalam bukunya “ DePalembang Sche Marga (1927 ) “ tidak menyebut orang komring tetapi “ Jelma Daya “ yang berarti kelompok masyarakat yang ulet dan dinamis, dan seorang sejarawan dari Belanda Van Der Tuc menyebut kelompok masyarakat ini dengan nama “ Kembiring “ yang di artikan sebagai manusia jadi-jadian ( orang yang dapat menghilang dan bisa berubah menjadi Harimau ).
Nama sungai Komring sendiri diambil dari nama seorang saudagar buah Pinang yang berasal dari India yang bernama Komring Singh , makam ( kuburan ) nya terdapat di sebelah hulu desa Muara Dua, sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari pertemuan sungai Selabung dengan Wai Saka yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring, tidak semua penduduk yang mendiami sungai komring di sebut orang komring, aliran sungai Komring sampai di Gunung Batu, penduduknya terbagi dalam 2 ( dua ) Kewedanaan Muara Dua dan Kewedanaan Martapura , sebagian penduduk kewedanaan Muara Dua di sebut Jelma Daya bukan Orang Komring walaupun mereka tinggal di pinggir sungai Komring sementara itu penduduk yang termasuk kewedanaan Martapura di sebut orang komring.
Kelompok masyarakat ini awalnya berasal dari Gunung Seminung yang membawa Budaya Rumpun Seminung. Masyarakat Rumpun Seminung tergolong suku Melayu Kuno ( Proto Malayan Tribes ), bahasanya banyak terdiri dari bahasa Melayu Kuno , bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta , Kelompok masyarakat ini kemudian berkembang dan menyebar menjadi beberapa kelompok masyarakat.
- Yang pertama - Kelompok masyarakat yang mendiami sekitar daerah gunung seminung sampai ke Ranau kemudian terbentuk masyarakat Ranau.
- Yang kedua - Kelompok masyarakat yang turun dari Gunung Seminung kearah Lampung kemudian di kenal dengan kelompok masyarakat Lampung Peminggir.
- Yang ke tiga - Kelompok masyarakat yang turun dari Gunung Seminung menyusuri aliran sungai yang kemudian di kenal dengan kelompok Samanda Di Way yang sekarang menjadi masyarakat yang kita kenal dengan Orang Komring atau Jolma Daya..

Menurut sejarah Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan ( 1979 ) Jelma Daya adalah kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau kemudian seterusnya menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu adalah kelompok Semendawai. Semendawai berasal dari kata Samanda Di Way yang berarti mengikuti aliran sungai . Kelompok masyarakat ini kemudian berkembang dan berpencar membentuk 7 ( Tujuh ) Kepuhyangan ( kepuyangan) , antara lain :
- Kepuhyangan Pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini kita kenal dengan nama GUNUNG BATU, kelompok ini di pimpin oleh Pu Hyang Ratu Sabibul .
- Kepuhyangan Kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan MALUWAY, kelompok ini di pimpin oleh Pu Hyang Kai Patih Kandil.
- Kepuhyangan ke Tiga menempati muara sungai di dalam teluk yang kemudian dikenal dengan nama MINANGA , kelompok ini di pimpin oleh Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing.
- Kepuhyangan ke Empat menemukan padangan rumput yang luas kemudian menempatinya, pekerjaan mereka membuka padangan ini yang di sebut Madang yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang, tempat pertama yang mereka duduki di namakan GUNUNG TERANG, kelompok ini di pimpin oleh Puhyang Umpu Sipadang.
- Kepuhyangan ke Lima di Pimpin oleh Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung yang kemudian di jadikan nama kepuhyangan Pemuka Peliung, dari kepuhyangan inilah kelak di kemudian hari setelah terjadinya Perang Abung ( 1400 M ) antara dinasti Paksi Pak dari Sekala Berak dengan Orang Abung, kemudian menyebar mendirikan kepuhyangan baru antara lain Kepuhyangan Banton di pimpin oleh Pu Hyang Ratu Penghulu, Kepuhyangan Pulau Negara yang di pimpin oleh Pu Hyang Umpu Ratu.
- Kepuhyangan ke Enam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Kramat , yang dipercayai oleh penduduk setempat bahwa istri beliau berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang sehingga di abadikan pada nama kepuhyangan mereka , Kepuhyangan Bunga Mayang.
- Kepuhyangan ke Tujuh di pimpin oleh Puhyang Sibalakuang, kelompok ini pada mulanya menempati daerah MAHANGGIN yang kemudian setelah terjadinya perang Abung mendirikan cabang – cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap dan banyak kepuhyangan ini mengunakan nama Bhu Way.

thank's to - A'im Gantesa
Add to Google Reader or Homepage Add to The Free Dictionary Subscribe in Bloglines Add to My AOL

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls