Aug 13, 2009

Alkisah



Zaman bahula suku Proto Malayan, orangnya ngak gaul, gak mau berhubungan dengan dunia luar. Mereka hanya berpesta di pegunungan. Kemungkinan besar mereka ngak pernah piknik ke pantai Kuta, Ancol, palagi ke Palembang Square. Hehe.. Ini beda sekali dengan suku-suku Neo Malayan. Suku-suku Neo Malayan lebih suka tinggal di tanah datar. persis seperti Cut Tari, Luna Maya, Ifan Bachdim, dan yang lain konco-konconya.
Kesenangan si suku Proto Malayan terusik, karena sekitar 1000 taon SM, suku Mongol datang merangsek dan terpaksalah mereka mabur ke selatan, sepanjang sungai-sungai Irawady, Salween, serta Mekong. Udah itu,, mereka juga didesak bangsa Syan dari Palae Mongoloid. Akibatnya mereka terdesak sampai ke tepi laut di teluk Martaban (kacian nenek moyang ku).
Nah.. sekarang mereka udah bisa piknik ke pantai (ye) Mereka berhubungan dengan orang asing, kebudayaan Proto Malayan jadinya kecampur dengan budaya Hindu (bahasa kerennya terakulturasi), Ini juga mempengaruhi bahasanya.
Tapi emang dasar orang gunung, si proto Malayan kurang senang bertempat tinggal di tepi pantai. Terlalu banyak orang asing yang harus dijamu (bisa- abis kopi). Apalagi pantatnya sering digigit kepiting laut. Dia ngak tahan nanggung derita ini. Bahkan sampai ada yang coba bunuh diri dengan cara menusuk-nusukan capit kepiting ke ketek kirinya (sebab konon mereka percaya bahwa letak jantung ada di ketek kiri, hehe…). Lalu mereka memberanikan diri mengambil resiko, menyeberangi lautan mencari tempat tertutup. Suku-suku Proto Malayan pun akhirnya terpisah-pisah. Ada yang melancong dan menetap di Filipina. Di situ mereka membentuk komunitas baru dan buka bisnis togel (hehe.. gaklah). Ada juga yang ke Taiwan. Suku bangsa Tayal pergi ke puncak-puncak gunung di Taiwan sejak 3.000 tahun lalu sampai sekarang (Jangan-jangan mereka itu leluhur F4 yang serial meteor garden. ya) Mereka tidak ambil pusing bahwa tanah-tanah datar di tepi pantai Taiwan, silih berganti direbut Cina, Belanda, Jepang dan Cina lagi. (Lo mau perang kek, mau ngapain kek. gw kagak peduli! terserah lo ajalah…)” teriak mereka dari gunung sambil menyaksikan tanah datar di tepi pantai diperebutkan. Suku bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Di situ mereka selama 3.000 tahun hingga sekarang kontra dengan suku-suku bangsa Bugis dan Makasar, yang berasal dari Neo Malayan. Mereka berantem melulu (untung waktu itu lum ada kapal selem dan bom buku). Agama Islam sekitar 400 tahun sudah diterima Bugis dan Makasar. Tetapi suku Toraja gak mau. Tapi pas abad XX suku bangsa Toraja mau menerima Protestan Calvinist dari pendeta-pendeta Belanda. Sementara suku Karen tetap bertahan di pegunungan Burma. Sampai sekarang juga berantem terus dengan suku bangsa Burma yang membentuk Republik Burma. Suku bangsa Karen tetap menolak agama Budha, yang dianut orang-orang Burma dan Siam. suku bangsa Karen sejak abad ke-XIX menerima agama Kristen/British Baptists dari pendeta-pendeta Inggris. Sedangkan suku bangsa Batak, tenang -tenang… ternyata mendarat di pantai Barat pulau Sumatera. Di situ suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa gelombang (bukan tsunami lho). Gelombang pertama mendarat di pulau-pulau Simular, Nias, Batu, Mentawai, Siberut sampai ke Enggano. Gelombang lain mendarat di muara sungai Simpang, sekarang Singkil. Mereka bergerak sepanjang sungai Simpang Kiri dan menetap di Kutacane. Dari situ mereka menduduki seluruh pedalaman Aceh. Itulah yang menjadi orang-orang Gayo, dan Alas. Adalagi yang mendarat di muara Sungai Sorkam, antara Barus dan Siboga. Masuk utan Doloksanggul dan menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit, di tepi danau Toba sebelah barat, sekarang di seberang Pangururan.
Suku bangsa Sekala Brak (Sekala Baca: Sekala Bekhak) muyangku mendarat di pesisir Sumatera Barat terus jalan kaki ke Anjak Lambung" yang berarti berasal dari ketinggian (Diandra Natakembahang: 2005) atau Lampung, lalu selama 2.500san taon berkurung di sekitar danau Ranau. Mereka mendirikan kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, awalnya mereka menempati kaki Gunung Pesagi yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau (sekarang masuk administrative Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah mereka menyebar ke segala penjuru dengan mengikuti aliran wai komering, wai kanan, wai semangka, wai seputih, wai sekampung dan wai tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Bukti tentang kemasyuran muyangku didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan. Warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau.
Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich menyimpulkan bahwa Sekala Brak merupakan cikal bakal rumpun Lampung. Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779, mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where originally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated…". Apabila tuan-tuan menanyakan kepada masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk ke arah gunung yang tinggi dan sebuah danau yang luas. Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groeneveltkedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Prof. Wang Gungwu dalam majalah ilmiahJournal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari negeri Kendali mengirimkan utusannya ke Negeri Cina. Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali Ibukota Kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama.
Hal diatas membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.
Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi. Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26-45, diketahui nama Raja yang mengeluarkan prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Baginda Sri Haridewa.
Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal Sriwijaya, dimana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran palembang (Van Royen:1927). Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering (Arlan Ismail:2003).
Berdasarkan Warahan disusun di dalam Tambo, dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.


Bersambung.......

0 comments:

Add to Google Reader or Homepage Add to The Free Dictionary Subscribe in Bloglines Add to My AOL

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls